Sewarsa Master Bagasi Membangun Jembatan Produk Lokal di Mata Rantai Perdagangan Dunia

Ekspor-Impor Layaknya Hubungan LDR yang Bikin Dunia Tetap Jalan

Gastro diplomasi : Cara mengenalkan kebudayaan lewat kuliner

Al Fulk – Riding the Waves

News thumbnail
Sewarsa Master Bagasi Membangun Jembatan Produk Lokal di Mata Rantai Perdagangan Dunia

Semua berawal dari mimpi sederhana: membayangkan produk-produk Indonesia dipakai dan dinikmati orang-orang, terutama diaspora, di seluruh dunia. Sungguh, pada saat itu, mimpi itu terasa terlalu besar, terlalu jauh, terlalu berani. Bagi banyak orang, saya adalah orang yang nekat dan berani. Akan tetapi, ragu sejatinya kadang datang menghampiri. Akan tetapi, di balik rasa ragu, ada satu keyakinan yang tak pernah padam: Indonesia punya sesuatu yang pantas dikenalkan ke dunia.


Dalam banyak percakapan dan diskusi, muncul satu tema yang terus kembali. Tanya yang terus bergema dalam sanubari hati. “Bagaimana kalau kita bisa menjadi jembatan untuk UMKM menuju pasar global?” Saya menyadari saat itu, jembatannya belum ada, atau setidaknya belum cukup kuat. Dan dari situlah perjalanan Master Bagasi dimulai.


Tahun pertama dimulai dengan layar kosong. Tidak ada peta, tetapi ada arah. Tidak ada jaminan, tetapi ada tekad. Tim kecil yang saya bentuk mulai bekerja dari pagi ke pagi berikutnya, menyusun platform, menjelaskan konsep ke seller, meyakinkan mitra logistik, dan menanamkan kepercayaan pada orang-orang yang belum pernah mendengar nama Master Bagasi. Di balik layar, ada kebingungan, kesalahan, revisi tanpa akhir. Tetapi, di banyak peristiwa yang tercatat sejarah itu juga ada tawa, keberanian, dan harapan besar.


Lalu hari itu tiba. Bunyi notifikasi yang tak seberapa keras itu terasa seperti guntur dalam ruangan kecil. Ada pesanan pertama. Hanya satu, tapi cukup untuk membuat semua orang menatap layar dan saling tersenyum. Bunyi itu bukan sekadar transaksi. Bunyi itu adalah bukti bahwa mimpi ini mulai menyentuh dunia nyata. Pesanan perdana itu bagaikan bola salju yang memiliki efek domino. Dari satu pesanan menjadi ratusan negara yang terdata. Bermula satu pesanan, menjadi ribuan testimoni positif dan rekomendasi dari mulut ke mulut.


Meski ada harapan, keraguan ikut tumbuh. Pohon yang semakin tinggi itu mulai menemui angin yang semakin kencang. Bahtera yang berlayar itu harus menaklukan angin badai yang datang tanpa permisi. Pengiriman internasional tidak selalu lancar. Seller masih ragu dan pengguna butuh edukasi pascatransformasi digital. Platform perlu perbaikan tanpa henti. Sedangkan, tim semakin besar dengan segala kompleksitasnya. Di titik ini, pertanyaannya jelas: “Apa kita bisa melewati semua ini?” Namun di balik semua kelelahan, ada keyakinan yang sama kuatnya dengan hari pertama: kita harus terus melangkah.


Keputusan besar diambil: Master Bagasi tidak akan sekadar bertahan. Tahun pertama harus menjadi titik loncat. Tim memperbaiki sistem, memperluas jaringan, menghubungi seller satu per satu, menyempurnakan layanan, dan merapikan semua sisi yang perlu diperbaiki. Inilah momen ketika mimpi berubah menjadi komitmen.


Saat perbaikan terus berjalan, sesuatu yang indah terjadi. Komunitas mulai tumbuh. Seller mulai saling berbagi ceritanya di berbagai kanal media. Pembeli dari luar negeri mulai menuliskan pesan hangat tentang betapa mereka merindukan rasa Indonesia. Pengrajin kecil mulai percaya bahwa produk mereka bisa sampai ke Eropa, Amerika, Timur Tengah, hingga Afrika. Ternyata, Master Bagasi bukan sekadar platform. Ia adalah ruang pertemuan, harapan, dan cerita.


Momen-momen ini menjadi sorotan perjalanan bahwa UMKM dari berbagai daerah bergabung dengan penuh antusias. Di sisi lain, produk lokal makin beragam, dari kuliner, kerajinan, hingga fesyen. Negara tujuan bertambah dan peta dunia di balik server perlahan dipenuhi warna penanda jejak Master Bagasi ada di sana. Sistem pengiriman pun makin rapi dan transparan. Yang tak kalah penting, platform semakin berkembang semakin mudah dipakai dan semakin dipercaya. Semua ini membuat tahun pertama terasa seperti pesta kecil. Kita merayakan kemenangan sederhana atas buah dari kerja keras, harapan, dan doa yang tak terlihat.


Namun, titik balik datang bukan dari keberhasilan besar, melainkan dari masukan kecil: “Saya ingin jualan ke luar negeri, tapi saya takut produknya rusak di jalan.” atau sebuah keluhan bahwa “Apa bedanya Master Bagasi dengan jasa titip yang merebak di berbagai media sosial?”


Kalimat sederhana itu membuat seluruh tim berhenti sejenak. Di situlah saya menyadari bahwa bukan angka pencapaian yang paling penting. Akan tetapi, rasa aman bahwa setiap pelaku UMKM di Indonesia tidak berjalan sendirian. Ada rasa percaya yang perlu ditumbuhkan bagi diaspora dan warga dunia atas kemudahan layanan crossborder e-commerce pertama karya anak bangsa. Midpoint ini sejatinya mengembalikan fokus kami kembali. Master Bagasi bukan lagi sekadar membawa produk keluar negeri, tetapi membawa kepastian dan ketenangan hati bagi setiap penjual dan pembeli.


Saya akhirnya menyadari bahwa pertumbuhan memperbesar tantangan. Lebih banyak pesanan berarti lebih banyak tanggung jawab. Lebih banyak seller berarti lebih banyak kebutuhan untuk dilayani. Lebih banyak negara berarti lebih banyak aturan dan risiko. Di setiap masalah, kami semakin memperkuat langkah. Rapat dan pertemuan semakin intens. Setiap minggu ada masalah baru yang harus diselesaikan. Tapi kali ini, Master Bagasi sudah tidak melangkah sendirian.


Ada masa ketika beberapa masalah datang bersamaan. Keterlambatan pengiriman, revisi sistem, permintaan seller yang menumpuk, dan target yang terasa mustahil. Tim sempat merasa terhimpit. Namun dalam kelelahan itu, ada satu suara yang menyadarkan “Kalau kita berhenti sekarang, siapa yang akan meneruskan mimpi ini untuk produk lokal kita mendunia?” Dan dari pertanyaan itu, semangat baru muncul. 


Keputusan kembali diambil. Master Bagasi melakukan soft launching setelah melakukan audiensi dengan berbagai Kementerian/Lembaga. Master Bagasi semakin memperkokoh akar kuatnya dengan diaspora melalui pertemuan di berbagai Kedutaan Besar Indonesia. Saya menekankan kepada tim bahwa tantangan tidak akan dikecilkan, melainkan dihadapi dengan inovasi. Platform harus diperbarui. SOP logistik diperkuat kembali. Komunikasi dengan seller dan para diaspora diperbaiki. Semua dilakukan bukan karena harus, tetapi karena ingin memberi yang terbaik. Inilah titik di mana Master Bagasi menemukan dirinya yang baru: lebih matang, lebih kuat, lebih yakin.


Setahun ini bukan sekadar perayaan, tetapi sebuah peringatan. Kita mengingat kembali rekam jejak. Kami menapaki tilas yang telah dilalui. Tim memandang ke belakang, ke jalan yang telah dilewati: dari pesanan pertama hingga ribuan barang yang kini dikirim ke luar negeri. Dari satu seller yang percaya hingga komunitas yang terus bertambah. Dan kini, Master Bagasi berdiri bukan sebagai start-up baru, melainkan sebagai gerakan yang mengangkat karya bangsa ke panggung dunia.


Satu tahun Master Bagasi sebagai platform digital bukan akhir. Sewarsa ini adalah langkah pertama dari perjalanan panjang untuk membawa lebih banyak produk lokal asli Indonesia menuju pasar global. Mimpi yang dulu terasa jauh kini hanya tinggal dijangkau. Dan Master Bagasi bersama seluruh komunitasnya siap membawanya semakin tinggi.


News thumbnail
Ekspor-Impor Layaknya Hubungan LDR yang Bikin Dunia Tetap Jalan

Rayakan Natal di Luar Negeri, tapi Kuenya Tetap dari Tanah Air

Bagi diaspora Indonesia di luar negeri seperti Lia di Kanada atau Rico di Belanda, Natal selalu mereka sambut dengan cita rasa Nusantara.

Lia, misalnya, sudah hampir tujuh tahun tinggal di Toronto. Tapi setiap Desember tiba, dapurnya selalu ramai dengan kegiatan membuat nastar, kastengel, dan putri salju.

“Buat aku, Natal tanpa kue nastar tuh rasanya nggak lengkap. Makanya aku selalu pesan bahan dari Indonesia lewat Master Bagasi. Sekaligus jadi cara kecil buat tetap terhubung sama rumah,” ujar Lia sambil tertawa.

Sementara itu di Rotterdam, Rico — yang bekerja sebagai barista — punya kebiasaan bikin lapis legit dan kue semprit setiap akhir tahun. Ia bahkan berbagi kue itu ke teman-temannya dari berbagai negara.

“Lucu sih, tiap kali aku bawa kue khas Indonesia ke pesta Natal, teman-teman buleku selalu nanya resepnya. Dari situ aku cerita sedikit tentang tradisi Indonesia dan gimana tiap gigitan itu punya makna,” kata Rico.

Cerita-cerita seperti Lia dan Rico bukan cuma nostalgia, tapi juga cerminan bagaimana rasa Indonesia tetap hidup di hati para perantau, bahkan ribuan kilometer dari kampung halaman.


Dari Produk Lokal ke Meja Dunia

Dulu, untuk menikmati rasa Indonesia di luar negeri bukan hal yang mudah. Tapi sekarang, lewat platform seperti Master Bagasi, para diaspora bisa dengan mudah mendapatkan produk lokal langsung dari tanah air.

Mulai dari:

  • Bumbu dapur tradisional untuk memasak rendang, opor, atau sambal goreng hati
  • Kue kering buatan UMKM Indonesia yang jadi favorit tiap Natal
  • Hampers khas Nusantara untuk dikirim ke teman atau keluarga di luar negeri

Semuanya bisa dipesan dan dikirim langsung ke berbagai negara tanpa ribet, dengan kemasan aman dan jaminan produk asli dari Indonesia.

Dengan cara ini, rasa Indonesia tetap bisa hadir — entah di tengah salju tebal Eropa, panasnya musim panas Australia, atau dinginnya malam Kanada.


Cerita Diaspora, Cerita tentang Cinta pada Tanah Air

Natal bagi diaspora bukan hanya soal pohon terang, lagu-lagu klasik, dan hadiah di bawahnya. Tapi tentang bagaimana rasa dan kenangan dari tanah air tetap dihidupkan di mana pun mereka berada.

Di Polandia, seorang mahasiswa Indonesia mungkin sedang memanggang kue lapis legit hasil resep dari ibunya.

Di London, keluarga diaspora menyiapkan rendang dan opor ayam untuk jamuan Natal.

Di Tokyo, ada yang membuka toples berisi keripik singkong balado sambil menonton film liburan bersama teman-temannya.

Setiap hidangan kecil itu jadi simbol cinta dan rindu — bahwa meskipun jauh, ada bagian dari Indonesia yang tetap melekat di hati.

Dan di balik semua cerita itu, selalu ada semangat yang sama:

“Dari Nusantara untuk Dunia.”


Yuk, Hadirkan Cita Rasa Nusantara di Perayaan Natalmu

Kalau kamu juga tinggal di luar negeri, jangan biarkan jarak menghalangi rasa hangat perayaan Natal. Melalui Master Bagasi, kamu bisa:

  • Belanja produk lokal Indonesia langsung dari tanah air
  • Kirim hadiah dan hampers Natal untuk keluarga atau teman di luar negeri
  • Rasakan cita rasa Nusantara tanpa batas negara

Karena sejauh apa pun langkahmu, rasa Indonesia selalu bisa hadir di meja makanmu — lewat sepotong kue, sebotol sambal, atau sebungkus kopi buatan tangan dari negeri sendiri.

Natal mungkin dirayakan di tempat yang berbeda-beda, tapi rasa hangatnya tetap sama.

Selalu ada Indonesia di setiap gigitan, setiap aroma, dan setiap cerita yang kamu bagi. 🌏❤️

News thumbnail
Gastro diplomasi : Cara mengenalkan kebudayaan lewat kuliner


Sewaktu masih kuliah di Fakultas Hukum, saya sempat kepikiran soal satu hal yang mungkin terdengar sederhana, tapi lama-lama jadi pertanyaan yang membekas:


"Gimana sih, caranya orang-orang di luar sana bisa saling terkoneksi? Emang cukup cuma lewat komunikasi? Trus... gimana kita bisa ngenalin budaya kita ke mereka?"

Sebagai mahasiswa hukum, saya waktu itu cuma paham bahwa diplomasi itu urusannya orang-orang berdasi, duduk formal di meja panjang, dan bicara antarnegara. Diplomasi bukan sesuatu yang membumi, apalagi lewat hal-hal yang "sepele" seperti makanan.


Akan tetapi, pikiran saya mulai berubah sejak 2010. Saat itu, saya berkesempatan untuk pergi ke luar negeri pertama kalinya. Saya mendaratkan kaki ke negeri China bersama senior dari kampus. Dari situ, entah kenapa, pintu-pintu perjalanan saya ke luar negeri mulai terbuka. Saya sempat singgah ke Thailand, Korea, Belanda, Swiss, hingga India.


Di tiap negara yang saya datangi, saya ketemu dengan diaspora Indonesia. Ada yang kuliah, bekerja, bahkan sudah lama menetap di sana. Tapi satu hal yang bikin saya penasaran:

"Apa orang-orang di luar sana tahu kalau mereka ini dari Indonesia? Apa mereka dianggap? Diingat? Dipahami budayanya?"


Pertanyaan itu terus menghantui saya selama perjalanan ke berbagai belahan dunia. Sampai akhirnya, ketika perut saya mulai keroncongan dan iseng cari tempat makan, saya merasa terkejut bagaikan menemukan oase di tengah gurun pasir. Saya menemukan restoran Indonesia di luar negeri.


Saat saya makan di sana, ada rasa yang susah dijelaskan, bukan soal bumbunya yang khas, bukan karena rasa enaknya yang memanjakan lidah. Ada perasaan yang muncul di permukaan, yaitu rasa rindu. Ya, ternyata rindu itu bisa diobati lewat sepiring nasi padang atau semangkuk soto betawi. Lucu ya?


 Dari situ saya berpikir bahwa seharusnya, negara-negara yang jaraknya ribuan kilometer ini bisa lebih terhubung cuma lewat makanan dan minuman khas kita. Akan tetapi, meski begitu, ada satu hal yang tetap mengganjal. Rasanya tetap beda. Ada yang kurang. Ada yang tidak senendang kalau kita makan langsung di Indonesia.


Saya pun ngobrol dengan pemilik restoran. Ternyata, mereka punya tantangan besar: sulit cari bahan asli dari Indonesia—mulai dari cabai, bawang, sampai rempah-rempah tertentu. Proses impor ribet, mahal, dan lama.


Waktu itu, saya mulai sadar. Misi untuk mengenalkan budaya lewat makanan tidak akan berhasil kalau rasa otentik dari makanan Indonesia aja tidak bisa dihadirkan di luar negeri. Rasa khas Nusantara harus kita pastikan akses dan kesempatannya dapat hadir di setiap rumah tangga di luar negeri.


Momen itulah yang menjadi titik penting dalam kehidupan saya bahwa ini semua bukan sekadar soal makanan, tetapi jembatan budaya yang harus dibangun agar Indonesia dikenal dunia. Bahwa Indonesia bukan sekadar kumpulan pulau yang tergambar di peta dan membentuk negara, tetapi juga berisi keanekaragaman rasa dari racikan kulinernya yang khas dari Sabang hingga Merauke.

Dari keresahan itu, akhirnya lahirlah Master Bagasi. Master Bagasi adalah manifestasi keresahan dan ide sederhana tentang sebuah platform cross border e-commerce yang berfungsi sebagai jembatan untuk orang Indonesia di luar negeri, bahkan warga dunia untuk mengenal lebih dalam tentang Indonesia.


Lewat Master Bagasi, saya ingin semua diaspora Indonesia di mana pun mereka berkarya bisa tetap terhubung dengan akar budayanya, termasuk lewat makanan. Melalui Master Bagasi, saya ingin setiap warga dunia dapat merasakan kehadiran Indonesia dan mengenal negeri indah ini dari berbagai produk pangan dan hasil ekspresi kebudayaannya.

Akhirnya, pertanyaan saya di masa kuliah itu terjawab:


"Ya, diplomasi bisa dilakukan lewat makanan. Budaya bisa dikenalkan lewat rasa."


Hari ini, lewat Master Bagasi, pelaku bisnis kuliner dan diaspora Indonesia bisa mendapatkan kebutuhan mereka, entah itu bumbu, rempah, makanan khas lainnya, langsung dari tanah airnya. Tentu saja, akses itu tanpa harus pusing mikirin urusan logistik yang ribet. Cukup buka HP, klik, dan rasa rindu akan masakan ibu bisa sedikit terobati. Gastrodiplomasi bukan sekadar konsep elitis dan di angan, tetapi ada dalam genggaman.


Tentu saja, ini baru permulaan. Saya percaya, gastro diplomasi ini hanya langkah pertama. Master Bagasi akan terus berkembang dan menjadi ekosistem digital diaspora yang bukan cuma soal makan, tapi juga soal koneksi, identitas, dan rasa memiliki. Karena pada akhirnya, makanan bukan cuma soal kenyang. Tapi juga tentang pulang.


Kalau kamu juga pernah ngerasain rindu yang tidak bisa dijelaskan waktu di luar negeri, mungkin kamu juga tahu: sepiring makanan bisa lebih kuat dari sepuluh pidato diplomatik.

Dan itu, teman-teman, adalah kekuatan dari gastrodiplomasi.



News thumbnail
Al Fulk – Riding the Waves

Saya selalu merasa perjalanan kami dalam membangun Master Bagasi bagaikan berlayar di tengah samudera. Kami menaiki bahtera yang menerjang gelombang lintas negara. Kami mewarisi DNA nenek moyang agar tidak takut dengan laut luas atau badai ganas.


Kita harus menyadari setiap peradaban besar pernah dibentuk oleh sebuah kapal yang siap menjelajah, menemukan sesuatu baru, dan membuka hubungan sosial-ekonomi-politik. Kapal bukan sekadar alat angkut atau mobilitas dari satu daratan ke daratan lainnya, tetapi juga lambang keberanian untuk menantang batas. Kapal adalah kendaraan yang dirancang untuk mereka yang tidak ingin berdiam diri. Mereka diciptakan untuk mereka yang ingin menyebrang meski gelombang tinggi, meski arah tak selalu pasti.


Dalam bahasa arab, bahtera atau kapal dikenal sebagai al-fulk. Ia menjadi salah satu manifestasi dari nikmat Tuhan kepada manusia. Secara tersirat, saya memaknai al-fulk sebagai bahtera yang membawa manusia dari ketakutan menuju harapan. Al-fulk adalah bahtera yang menyelamatkan, kapal yang menyebrangkan, kendaraan yang mempersatukan.


Dalam gelombang ekonomi digital dunia hari ini, saya mengakui bahwa kita membutuhkan bahtera sendiri. Hari ini, sebagian brand kecil dan pelapak lokal terombang-ambing di lautan yang besar. Platform global raksasa mengatur arus. Algoritma jadi cuaca. Biaya jadi ombak. Mereka yang kuat, dengan armada besar, bisa melaju cepat. 


Tapi bagaimana dengan kapal-kapal kecil dari pesisir Nusantara? Pelaku usaha pembawa rempah, kopi, kerajinan, tenun, dan mimpi dari desa-desa yang jauh dari spotlight? Mereka bukan sekadar butuh pelabuhan atau harapan visi besar jadi pemain dunia. Lebih dari itu, mereka membutuhkan bahtera. Apalagi, samudera ekonomi digital sudah diisi oleh kapal asing sehingga kita sekadar penumpang, bukan nahkoda sang penentu arah.


Oleh karena itu, saya berulang kali menekankan bahwa Master Bagasi bukan marketplace biasa. Kami lahir bukan dari ambisi teknologi, tapi dari panggilan Bagaimana agar produk lokal bisa menembus laut luas tanpa kehilangan jati dirinya?

Kami ingin menjadi Al-Fulk yang kerap diceritakan dalam kisah dalam kitab suci. Kami ingin menjadi bahtera yang membawa brand lokal melintasi batas negara, menghubungkan diaspora dengan rasa pulang, menyusun jalur ekspor mikro dari titik-titik kecil di Indonesia, serta menyebrangkan mimpi kecil ke pasar besar, tanpa harus tunduk pada sistem luar.


Kami tidak menjanjikan laut yang tenang karena tinggi gelombang kadang tak pasti, karang kadang tak terlihat, juga cuaca yang bisa berubah sekejap mata. Akan tetapi, kami percaya bahwa dengan bahtera yang kuat, bahkan ombak tertinggi pun bisa dilalui bersama. Dengan bahtera yang tepat, kita bisa menaklukan berbagai samudera dengan segala keunikannya.


Jika saat berlayar di dunia digital, kita mengenal istilah riding the waves. Ungkapan itu sejatinya menunjukkan agar kita menunggu laut tenang atau mengikuti arus seolah tanpa tujuan. Maknanya adalah kita harus belajar membaca gelombang. Kita jadi memahami kapan harus menahan layar atau membukanya secara penuh. Kita harus tahu bahwa menaiki kapal adalah soal kesiapan dan keteguhan, serta tidak takut goyah karena sungguh, kapal kita dibuat untuk bertahan dari segala tantangan.


Kami tahu perjalanan ini masih sangat panjang. Kami sadari bahwa tak semua orang percaya pada kapal buatan sendiri. Akan tetapi, kami meyakini tak ada peradaban besar jika hanya diam di pelabuhan. Kapal ini harus berlayar untuk mencapai pulau-pulau baru dengan petualangan dan dinamikanya masing-masing. Kapal ini harus mampu menaklukan berbagai halangan sembari bertahan di samudera ekonomi digital.


Oleh karena itu, Al-Fulk adalah permulaan. Al-Fulk bukan sekadar kapal. Ia adalah simbol perjalanan dan saya menyadari perjalanan ini belum mencapai kata usai. Bagi kami di Master Bagasi; gelombang ekspor, budaya, serta teknologi digital lintas negara bukan tantangan yang harus diantisipasi. Mereka semua adalah lautan yang menunggu dijelajahi. Mereka adalah pulau-pulau yang harus disinggahi.

Saya selalu memberi pesan sederhana. Master Bagasi tidak sedang melakukan transaksi jual-beli barang. Kami sedang menyebrangkan harapan. Siapa pun yang siap berlayar, kami akan jemput naik ke atas bahtera ini. Kita menjelajahi dunia bersama sembari mengenalkan Indonesia ke berbagai negara.


Yup… Al-Fulk telah diturunkan ke laut. Jangkar sudah diangkat. Kami siap berlayar. Karena sungguh, kami tidak akan menghabiskan waktu diam lama di pelabuhan.


Loading...